SARANA BACAAN SISWA MADRASAH SUNAN AMPEL DESA WONOREJO KEC. MARON KAB. PROBOLINGGO

Asal Mula Desa Maron

Penulis: Hamzet I Editor: Hamzet
Hari masih pagi benar. Udara dingin berkabut menyelimuti pedukuhan Karang Watu, sebuah pedukuhan di timur kotaraja Majapahit. Tampak seorang lelaki paruh baya menambatkan tiga ekor kuda pada sebuah pohon randu di halaman rumahnya. Ki Panji Bayu nama kakek itu. Ia seorang abdi dalem setia keraton Majapahit. Semasa mudanya ia adalah seorang prajurit tangguh yang sering ikut berperang meredam pemberontakan.
Sejak sembilan tahun lalu Ki Panji Bayu mengundurkan diri dari keprajuritan dan digantikan oleh putera semata wayangnya, Jaya Kandara. Sedangkan Ki Panji sendiri kemudian menjadi Punggawa Parentah Keraton atau pegawai kerajaan. Tugas utamanya adalah menyiapkan perbekalan prajurit jika hendak berangkat perang.
Matahari masih belum juga menampakkan diri. Seorang pemuda gagah dan tampan diiringi seorang perempuan cantik keluar dari rumah Ki Panji Bayu. Mereka adalah Raden Jaya Kandara dan Roro Minganti, putri seorang sahabat Ki Panji yang dinikahi Kandara seminggu lalu. Berjalan di belakang sepasang pengantin baru itu, seorang perempuan bernama Dewi Selasih, emban yang akan mendampingi Jaya Kandara dan Roro Minganti mengembara ke arah timur.
“Angger Kandara, sebentar lagi matahari akan terbit. Bersiaplah untuk berangkat. Ingat, berhati-hatilah selama dalam perjalanan. Keselamatan istrimu dan Selasih adalah tanggung jawabmu sepenuhnya”, sambil menepuk-nepuk punggung kuda, Ki Panji berpesan kepada putra kesayangannya.
“Baik Ramanda. Kandara akan laksanakan sungguh-sungguh titah Rama”, sahut Jaya Kandara.
Beberapa saat kemudian, sang mentari mulai menerangi pedukuhan Karang Watu. Embun pagi berkilauan diterpa sinarnya yang hangat. Setelah melakukan sungkem, Jaya Kandara, Roro Minganti dan embannya, Dewi selasih, segera menunggangi kuda masing-masing. Dihelanya kuda-kuda kekar itu ke arah matahari terbit, meninggalkan Ki Panji yang termangu sendiri. Tampak buliran air mata menganak-sungai di pipinya. Terus ditatapnya anak tunggal kebanggaannya itu sebelum akhirnya menghilang di balik bukit.
Jaya Kandara tidak tahu pasti di manakah gerangan dan apa nama tempat yang diamanatkan Ramandanya untuk ditempati dan didirikan pedukuhan. Yang ia tahu tempat itu terletak di sekitar benteng yang pernah dijadikan pertahanan pasukan Majapahit saat terjadi pemberontakan Kadipaten Sadeng. Ia terus saja bergerak ke arah timur, melewati lembah, pegunungan, perkampungan hingga rimba lebat.
Berkuda selama 3 hari (http://www.happy-horse-riding.com)

Setelah 3 hari berkuda, sampailah ketiga orang itu di sebuah desa. Penduduk setempat menyebut desa itu Desa Bangil. Jaya Kandara bergerak ke arah utara menyusuri sebuah sungai yang bermuara ke sebuah pelabuhan kecil.
“Diajeng Minganti, agar kita cepat sampai bagaimana kalau kita naik perahu saja? Rasanya jika lewat darat, semakin ke timur hutannya semakin lebat”, Raden Jaya Kandara menawari istrinya untuk menempuh perjalanan lewat laut.
“Mmmmmm….. Maafkan saya kakang… saya tidak pernah melakukan perjalanan ke timur”, bukannya menjawab, Roro Minganti justru meneruskan pertanyaan kepada embannya, “Bagaimana pendapatmu, bibi Selasih?”.
“Sendiko Raden, terserah Raden Kandara saja. Hamba juga belum pernah ke Sadeng, Keta atau Blambangan. Hamba manut Raden berdua saja”, Ujar Bibi emban Selasih yang memang juga belum pernah melakukan perjalanan ke timur.
“Baiklah jika begitu. Kita naik perahu saja”, Raden Jaya Kandara akhirnya mengambil keputusan.
Dengan membeli perahu seorang nelayan, berlayarlah mereka menyusuri pantai. Tapi nampaknya Jaya Kandara kurang begitu terampil mengendalikan perahu. Embusan angin yang sangat kuat, membuatnya kesulitan mengendalikan arah perahu. Bahkan sebuah terpaan angin kencang mematahkan tiang layar. Raden Jaya Kandara kini hanya mengandalkan dayung. Dengan sabar Kandara mendayung sambil berusaha mengarahkan perahu bergerak ke timur. Namun angin mendorong perahu ke utara sampai akhirnya di suatu pagi terdampar di sebuah pulau.
Mereka bertiga pun kemudian turun dari perahu. Seorang pemuda yang mengetahui kedatangan mereka kemudian memperkenalkan diri dan membawa ke sebuah tempat yang tak lain adalah sebuah padepokan tempat si pemuda itu belajar. Jaya Kandara amat terkesan dengan keramahan penghuni padepokan itu. Apalagi setelah mereka mengetahui bahwa Kandara berasal dari Majapahit. Dari mereka diketahui bahwa tempat itu adalah Desa Pademawu. Penghuni padepokan cepat sekali akrab dengan Kandara serta istri dan embannya, yang membuat Kandara begitu kerasan untuk beberapa hari tinggal di sana.
“Perahu Raden sudah kami perbaiki, tetapi Raden jangan melanjutkan perjalanan sekarang. Angin akan bertiup kencang untuk beberapa pekan ke depan. Sambil menunggu cuaca laut agak tenang, Raden bisa belajar di padepokan ini. Sekalian juga belajar berlayar yang benar”, terang pemuda yang menemukannya saat terdampar di tepi pantai.
“Kira-kira harus berapa lama lagi kami harus tinggal?. Sebenarnya kami betah tinggal di sini, tetapi demi melaksanakan amanat Ramanda, kami harus segera sampai di tujuan”, timpal Kandara. Dari atas sebuah menara bambu diedarkannya pandangan ke laut lepas. Tampak buih ombak berkejaran ke tepi pantai.
“Paling lama dua purnama lagi Raden”, jawab pemuda itu.
“Baiklah… jika begitu. Kami tunggu hingga cuaca tenang”, balas Raden Kandara.
“Oh ya, maaf, sebenarnya Raden dan rombongan hendak ke mana dan tujuannya apa?”, tanya pemuda itu sambil sedikit menoleh ke arah prajurit Majapahit itu.
“Saya tidak tahu apa nama tempatnya. Ramanda menitahkan saya untuk mendirikan sebuah pedukuhan di sekitar Benteng tempat pertahanan pasukan Majapahit saat menumpas pemberontakan Kadipaten Sadeng dan Keta”, urai Raden Kandara.
“Hmmmm…. Raden katakan tempatnya di Benteng pertahanan Majapahit? Tak salah lagi, itu adalah Benteng Pajarakan. Benteng itu berada di Kadipaten Banger, tepat di seberang laut tempat kita berdiri ini”, sambil menunjuk ke arah selatan, pemuda itu memberi penjelasan.
“Oh ya? Berarti sudah sangat dekat kalau begitu. Kira-kira butuh berapa lama ke sana?”, mata Raden Kandara, terbelalak memancarkan sinar kegembiraan.
“Benar Raden. Untuk ke sana hanya butuh waktu kurang dari sehari. Jika cuaca tenang hanya perlu waktu setengah hari”, kembali pemuda baik hati yang selalu mememani Kandara itu menjelaskan.
Tidak sampai dua purnama, ternyata cuaca laut sudah jauh lebih tenang. Jaya andara beserta Roro Mingatni dan Selasih pun kemudian melanjutkan perjalanan menyeberangi lautan di depannya. Atas perintah guru padepokan yang tak lain adalah ayah dari pemuda penolong Kandara, sebuah perahu berisi empat orang mengawal Kandara. Tak sampai sehari, dua perahu itu merapat di sebuah pelabuhan kecil bernama Jujugan. Setelah mengucapkan terima kasih dan menitipkan salam kepada Rama Guru Padepokan, Kandara naik ke darat melanjutkan perjalanan ke selatan. Sementara rombongan pengawal kembali ke Padepokan Pademawu, Madura.
Bagitu naik ke darat, di depan tiga orang penduduk kotaraja Majapahit itu belantara lebat menghadang. Disusurinya hutan itu ke selatan sampai menjelang malam yang mengharuskannya berhenti karena keadaan telah benar-benar gelap. Mereka kelelahan setelah melalui perjalanan jauh. Roro Minganti langsung tertidur pulas begitu menyandarkan tubuhnya ke sebuah pohon. Dihadapannya, bibi Selasih juga begitu mudahnya terlelap. Sementara Jaya Kandara, meskipun juga merasa letih luar biasa, namun matanya sulit dipejamkan. Ia teringat kata-kata Ramanya, tempat yang dituju adalah sekitar Benteng Pajarakan. Tetapi di manakah gerangan letak persisnya? Pikirannya terus menebak-tebak di mana kira-kira tempat yang dimaksud Ki Panji.
Ditengah kecamuk pikirannya, lamat-lamat didengarnya suara gemericik air. Diperhatikannya baik-baik  suara gemericik air itu. Didorong rasa penasaran Kandara segera bangkit dari duduknya dan mencari sumber suara itu. Tiba-tiba seberkas sinar yang amat terang memancar dari arah suara gemericik air, yang membuatnya jelas melihat ada sebuah sumber air memancur. Kembali pikirannya dihantui pertanyaan kenapa sumber air itu mengeluarkan cahaya walaupun cuma sekejap. Kandara terus memikirkan hal aneh itu hingga ia tertidur dan bermimpi.
Pagi-pagi sekali Kandara bangun. Terlihat di sebelahnya Roro Minganti masih dilena tidurnya. Demikian juga bibi Selasih, dengkurnya terdengar halus.
“Diajeng… diajeng Minganti… bangun. Hari sudah pagi”, Kandara menepuk-tepuk pundak Roro Minganti.
“mmm.. mmm.. maaf Kakang. Kakang Kandara sudah bangun dari tadi?”, begitu membuka mata Roro Minganti tergagap merasa bersalah karena bangun didahului suaminya.
“Tidak diajeng… baru saja juga. Oh ya, aku semalam bermimpi, sepertinya ini adalah tempat yang dimaksud Ramanda Ki Panji. Ya, saya yakin inilah tempatnya”, Kandara menceritakan mimpinya dan kejadian aneh yang dialaminya semalam.
“Ya Tuhan… terima kasih”, segera Roro Minganti bersujud mensyukuri cerita suaminya.
Selasih yang baru bangun dan belum sadar benar melongo saja melihat Roro Minganti bersujud, seperti yang pernah dipelajarinya di Pademawu beberapa waktu lalu.
“Nah, sekarang kita ke sumber air. Mandi”, putra kebanggaan Ki Panji ini mengajak istri dan bibi emban yang mendampinginya, ke sumber air yang ditemukannya semalam.
“…Kemaron…kemaron…kemaron…” teriak ketiganya tanpa sadar melihat batu padas tempat jatuhnya air cekung di bagian tenganya persis seperti kemaron.
Kemudian mereka pun mendirikan sebuah pondokan di sana. Juga bertani dengan membuka ladang yang tanamannya disiram dengan air sumber air Kemaron itu. Lama-kelamaan tempat itu tersiar luas sehingga sering disinggahi dan bahkan beberapa orang mulai menetap di sana. Seiring berjalannya waktu, tempat itu mulai ramai. Raden Kandara dijadikan sebagai pemimpin. Tempat itu pun kemudian disebut dengan Pedukuhan Kemaron yang kelak dikenal sebagai Desa Maron.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates